Kerajaan
Majapahit adalah kerajaan Hindu di Jawa Timur. Kerajaan ini
termasuk kerajaan kuno di Indonesia
yang berdiri pada tahun 1293 hingga 1500 M. Kerajaan Majapahit didirikan oleh Raden
Wijaya (1293 M). Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-14
yaitu pada masa kekuasaan Hayam Wuruk (1350-1389 M) yang didampingi oleh Patih
Gadjah Mada (1331-1364 M). Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu terakhir di
Semenanjung Malaya dan dianggap sebagai salah satu dari negara terbesar dalam
sejarah Indonesia. Majapahit menguasai kerajaan-kerajaan lainnya di Semenanjung
Malaya, Borneo, Sumatera, Bali, dan Filipina. Sumber utama yang digunakan oleh
para sejarawan untuk membuktikan keberadaan Majapahit adalah Pararaton
(“Kitab Raja-Raja”) dalam bahasa Kawi dan Nagarakertagama dalam bahasa Jawa
Kuno. Pararaton banyak menceritakan Ken Arok
(pendiri Kerajaan Singasari) namun juga memuat beberapa bagian pendek
mengenai terbentuknya Majapahit. Sementara itu, Nagarakertagama
merupakan puisi Jawa Kuno yang ditulis pada masa keemasan Majapahit di bawah pemerintahan
Hayam Wuruk. Selain itu, terdapat beberapa prasasti dalam bahasa Jawa Kuno
maupun catatan sejarah dari negeri Tiongkok dan negara-negara lain.
Asal Mula Berdirinya Majapahit
[ads1]Asal mula Kerajaan Majapahit diceritakan
bahwa sesudah Singasari mengusir Sriwijaya dari Jawa secara keseluruhan pada
tahun 1290, Singasari menjadi kerajaan paling kuat di wilayah tersebut. Hal ini
menjadi perhatian Kubilai Khan, seorang penguasa Dinasti Yuan di
Tiongkok. Ia mengirim utusan bernama Meng Chi ke Singasari yang menuntut
upeti. Kertanagara, penguasa kerajaan Singasari yang terakhir, menolak
untuk membayar upeti dan merusak wajah utusan tersebut serta memotong
telinganya. Kublai Khan pun marah lalu memberangkatkan ekspedisi besar ke Jawa
pada tahun 1293 M. Ketika itu, Jayakatwang, Adipati Kediri, membunuh
Kertanagara. Atas saran dan Aria Wiraraja, Jayakatwang memberikan
pengampunan kepada Raden Wijaya, menantu Kertanegara, yang datang menyerahkan
diri. Raden Wijaya kemudian diberi Hutan Tarik. Ia membuka hutan itu dan
membangun desa baru yang diberi nama Majapahit. Nama itu diambil dan “buah
maja” dan “rasa pahit” dan buah tersebut. Ketika pasukan Mongolia
tiba, Raden Wijaya bersekutu dengan pasukan Mongolia untuk bertempur melawan
Jayakatwang. Raden Wijaya berbalik menyerang sekutu Mongolnya sehingga memaksa
mereka untuk menanik pulang pasukannya karena mereka berada di wilayah asing.
Tanggal kelahiran kerajaan Majapahit pada tanggal 10 November 1293 adalah hari
penobatan Raden Wijaya sebagai raja. Ia dinobatkan dengan nama resmi
Kertarajasa Jayawardhana.
Masa Awal Kerajaan Majapahit
Kerajaan ini menghadapi banyak masalah. Beberapa
orang terpercaya Kertarajasa, termasuk Ranggalawe, Sora, dan Nambi
memberontak melawannya, meski pemberontakan tersebut tidak berhasil. Namun
ternyata Mahapatih Halayudha lah
yang melakukan konspirasi (persekongkolan) untuk menjatuhkan semua orang
terpercaya raja. Hal itu ia lakukan agar dapat mencapai posisi tertinggi dalam
pemenintahan. Namun, setelah kematian pemberontak terakhir (Kuti), Halayudha
dltangkap dan dipenjara, lalu dihukum mati. Raden Wijaya meninggal pada tahun
1309 M. Anak dan penerus Raden Wijaya, Jayanegara adalah penguasa yang
jahat dan tidak bermoral. Ia memiliki nama kecil Kala Gemet, yang
berarti “penjahat lemah”, Tahun 1328 M. Jayanegara dibunuh oleh tabibnya, Tanca.
Ibu tirinya yaitu Gayatri Rajapatni seharusnya menggantikannya, tetapi
Rajapatni memilih mengundurkan diri dan istana dan menjadi pendeta wanita.
Rajapatni menunjuk anak perempuannya Tribhuwana Wijayatunggadewi untuk
menjadi Ratu Majapahit. Selama kekuasaan Tnibhuwana, Kerajaan Majapahit
berkembang menjadi Iebih besar dan terkenal. Tribhuwana menguasai Majapahit
sampai kematian ibunya pada tahun 1350 M. Kepemimpinannya pun dilanjutkan oleh
putranya, Hayam Wuruk.
Hayam Wuruk
Masa Keemasan Kerajaan
Majapahit
Hayam Wuruk, juga disebut sebagai Rajasanagara.
Ia memerintah Majapahit dan tahun 1350-1389 M. Majapahit mencapal puncak
kejayaannya dengan bantuan Mahapatihnya, Gadjah Mada. Di bawah perintah Gadjah
Mada (1313-1364 M), Majapahit menguasai Iebih banyak wilayah. Pada tahun 1377
M, beberapa tahun setelah kematian Gadjah Mada, Majapahit melancarkan serangan
laut ke Palembang, menyebabkan runtuhnya sisa-sisa kerajaan Sriwijaya. Selain
Gadjah Mada, Majapahit juga memiliki jendral yang juga terkenal bernama Adityawarman.
Ia terkenal karena penaklukkannya di Minangkabau. Menurut Kakawin Nagarakertagama
Pupuh Xlll-XV, daerah kekuasaan Majapahit meliputi Sumatera, Semenanjung
Malaya, Borneo, Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, dan sebagian
Kepulauan Filipina. Namun, batasan alam dan ekonomi menunjukkan bahwa
daerah-daerah kekuasaan tersebut tidak berada di bawah kekuasaan terpusat
Majapahit, tetapi terhubungkan satu sama lain oleh perdagangan yang berupa
monopoli oleh raja. Majapahit juga memiliki hubungan dengan Campa, Kamboja,
Siam, Birma bagian selatan, dan Vietnam, dan bahkan mengirim duta-dutanya ke
Tiongkok.
Gadjah Mada dan Hayam Wuruk
Gadjah Mada dan Hayam Wuruk
Hayam Wuruk lahir tahun 1334, beberapa bulan sebelum Gajah Mada dikukuhkan sebagai
Mahapatih Amangkubumi. Pada saat Gajah Mada
mengucapkan sumpah sakral Amukti Palapa bayi Hayam Wuruk baru saja menikmati
udara Majapahit.
Dia tidak tahu dan mengalami langsung peristiwa bersejarah itu, tapi
belasan tahun kemudian tangannyalah yang kemudian memimpin dan membawa
Majapahit melaksanakan program maha dahsyat itu.
Di tangannyalah kemudian seluruh perairan nusantara bersatu menentang
penjajahan bangsa asing, terutama Tiongkok.
Sabdanya telah membentuk negara menjadi pemerintahan yang berwibawa dan
disegani rakyatnya. Masyarakat Majapahit menunduk hormat sambil merapatkan
kedua telapak tangannya dengan ikhlas kepada sang Raja. Sabda raja adalah hukum
yang harus dihormati.
Tiga puluh delapan tahun masa pemerintahannya sejak tahun 1351 s.d. 1389,
Hayam Wuruk telah membawa seluruh rakyat Majapahit, Wilwatikta Agung, ke puncak
kejayaan dan keemasan. Membawa seluruh rakyatnya mengalami kemakmuran,
kesejahteraan dan keadilan. Setiap perayaan agung di pusat kerajaan dimeriahkan
oleh seluruh rakyat tanpa kecuali.
Pada masa pemerintahannya itulah kerajaan-kerajaan lain di nusantara raya
ini tidak hanya sekedar sebagai negara bawahan yang tidak mempunyai
kemerdekaan, tetapi semua kerajaan itu bersama-sama dengan pemerintah pusat di
Jawa Timur mengembangkan potensi daerah masing-masing bagi kepentingan nusantara
raya ini.
Persatuan dan kesatuan yang menjadi program dasar Majapahit Agung telah
memberikan sumbangan pemikiran yang signifikan bagi pengembangan daerah yang
pada akhirnya membawa negara besar ini ke pintu gerbang kemajuan peradaban
bangsa yang disegani oleh negara sahabat dan mancanegara.
Tercatat, pada masa pemerintahan Hayam Wuruk tidak ada pemberontakan di
dalam negeri yang cukup berarti seperti pada masa-masa pemerintahan sebelumnya.
Hubungan dengan negara tetangga sangat baik, terutama dengan Cina.
Ditandai dengan gempa bumi yang sangat dahsyat di desa Banyupindah akibat
letusan gunung Kelud, yang menimbulkan kerugian harta dan nyawa, dan didahului
dengan munculnya pemberontakan-pemberontakan dan krisis kepemimpinan di pusat
kerajaan Majapahit, lahirlah bayi Hayam Wuruk di tengah-tengah masyarakatnya
pada tahun 1334.
Seluruh masyarakat, dari kasta paling rendah sampai para bangsawan dan
petinggi Majapahit menyambut kelahiran jabang bayi calon pemimpin besar bangsa
ini. Semua bergembira.
Lebih dari sebulan Majapahit menyambut kelahiran putra mahkota itu dengan
mengadakan pesta rakyat di alun-alun Bubat.
Para pendeta Hindu dan Budha melakukan upacara keagamaan yang sangat
sempurna. Candi-candi dan tempat-tempat ibadah dibersihkan. Para pujangga dan seniman
istana mengukir dan memuji si jabang bayi dengan sentuhan estetika
mereka. Setiap desa, padukuhan dan tanah perdikan di seluruh Majapahit,
Daha, Kahuripan dan Singasari mengantarkan hasil bumi mereka ke kotaraja bagi
keberlangsungan upacara-upacara yang diadakan.
Mereka bersama-sama merayakan hari bahagia menyambut putra mahkota di
kotaraja. Alun-alun Bubat dipenuhi tenda-tenda yang disediakan oleh kerajaan
bagi para pemimpin daerah yang datang. Seluruh Majapahit bergembira, putra
mahkota telah lahir, seorang laki-laki yang tampan, sempurna lahir dan
bathiniah.
Hayam Wuruk yang juga bernama Raden Tetep itu bersama-sama Gajah Mada, orang yang memomongnya
dengan telaten sejak dia masih kecil, telah memberikan garis kebijakan yang
sangat jelas mengenai rantai kepulauan besar nusantara, yang menurut Mohammad
Yamin (berdasarkan uraian Nagarakretagama) terbagi dalam daerah yang delapan,
yaitu:
- Seluruh Jawa, meliputi: Jawa, Madura dan Galiyao (Kangean)
- Seluruh Pulau Sumatra (Melayu), meliputi: Lampung, Palembang, Jambi, Karitang (Inderagiri), Muara Tebo, Dharmasraya (Sijunjung), Kandis, Kahwas, Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar, Pane, Kampe, Haru, Mandailing, Tamiang, Perlak, Barat (Aceh), Lawas (Padang Lawas, Gayu Luas), Samudra (Aceh), Lamuri (Aceh tiga segi), Bantam dan Barus.
- Seluruh Pulau Kalimantan (Tanjungnegara), meliputi: Kapuas, Katingan, Sampit, Kuta Lingga (Serawak), Sedu (Sedang di Serawak), Kota Waringin, Sambas, Lawar (Muara Labai), Kedangdanan (Kendangwangan), Landak, Samedang (Simpang), Tirem (Peniraman), Sedu (Serawak), Brunai, Kalka Saludung, Solot (Solok, Sulu), Pasir, Baritu, Sebuku, Tabalong (Amuntai), Tanjung Kutai, Malanau dan Tanjungpuri.
- Seluruh Semenanjung Melayu (Malaka), meliputi: Pahang, Hujungmedini (Johar), Lengkasuka (Kedah), Saimwang (Semang), Kelantan, Trengganu, Nagor (Ligor), Pakamuar (Pekan Muar), Dungun (di Trengganu), Tumasik (Singapura), Sanghyang Hujung, Kelang (Kedah, Negeri Sembilan), Kedah. Jere (Jering, Petani), Kanjab (Singkep) dan Niran (Karimun).
- Di sebelah timur Jawa, seluruh Nusa Tenggara, meliputi: Bali, Bedulu, Lwagajah (Lilowan, Negara), Gurun (Nusa Penida), Taliwang (Sumbawa), Dompo (Sumbawa), Sapi (Sumbawa), Sanghyang Api (Gunung Api, Sangeang), Bima, Seram, Hutan (Sumbawa), Kedali (Buru), Gurun (Gorong), Lombok Mira (Lombok Barat), Saksak (Lombok Timur), Sumba dan Timor.
- Seluruh Sulawesi, meliputi: Bantayan (Bontain), Luwuk (Luwu), Udamakatraya (Talaud), Makasar, Butun (Buton), Banggawi (Banggai), Kunir (Pulau Kunyit), Salaya (Saleier) dan Solot (Solor).
- Seluruh Maluku, meliputi: Muar (Kei), Wandan (Banda), Ambon dan Maluku (Ternate).
- Seluruh Irian (Barat), meliputi: Onin (Irian Utara) dan Seram (Irian Selatan).
Hayam Wuruk suka menari (memainkan peran wanita) sebagai Pager
Antimun, menjadi dalang dengan gelar Tirtaraju, kalau jadi pelawak dalam wayang
mengambil peran Gagak Ketawang, sebagai pemeluk agama Siwa dikenal sebagai
Janeswara. Sebagai raja selain mengambil nama abiseka Sri Rajasanagara juga
sering disebut Hyang Wekasing Suka. (Prof. Dr. Slamet Muljana, Pemugaran
Persada Sejarah LELUHUR MAJAPAHIT, hal. 190).
Masih dalam Nagaraktretagama, pada masa pemerintahan Hayam Wuruk Majapahit
sudah menetapkan batasan wilayah negara tetangga (bukan negara bawahan),
seperti: Sin (Syangka), Thai, Dharmanagara, Martaban (Birma), Kalingga
(Rajapura), Singanagari, Campa, Kamboja dan Annam (Yawana).
Kepopuleran Hayam Wuruk bukan saja di dalam negeri, tetapi juga di mancanegara.
Seorang bhiku dari pertapaan Sadwihara di daerah Kancipuri (India) yang bernama
Sri Budhatiya mengarang buku Bhogawali, berisi pujian kepada Sang Prabhu Hayam
Wuruk.
Hayam Wuruk dinobatkan sebagai putra mahkota (yuwaraja) sejak masih
kanak-kanak di Kahuripan dengan gelar abhiseka Sri Rajasanagara yang terus
dipakainya sampai menjadi raja di Majapahit (dinobatkan pada usia 16 tahun,
pada pertengahan tahun 1351).
Menurut Pararaton, sehabis perang Bubat (kegagalan Hayam Wuruk memperistri
putri Sunda: Dyah Pitaloka) Hayam Wuruk memperistri Paduka Sori, putri Bhatara
Hyang Paramesywara dengan Dyah Wiyat Sri Rajadewi Maharajasa. Bhatara Hyang
Paramesywara adalah Bhre Wengker (raja di Wengker). Dyah Wiyat adalah
bibinya, adik ibunya yang menjadi ratu di Daha (Bhre Daha). Jadi Paduka Sori
masih adik sepupunya.
Dari perkawinan itu lahir Bhre Lasem Sang Ahayu. Menurut Nagarakretagama
pupuh VII/4 Bhre Lasem Sang Ahayu bernama Kusumawardhani yang akhirnya kawin
dengan Bhre Mataram Wikramawardhana, putra sulung Bhre Pajang. Sepeninggal Sri
Rajasanagara, Wikramawardhanalah yang menjadi raja di Majapahit
Keruntuhan Kerajaan Majapahit
Kekuasaan Majapahit berangsur-angsur melemah ketika
terjadi perang saudara (Perang Paregreg) pada tahun 1405-1406 M, antara Wirabhumi
melawan Wikramawardhana. Terjadi pula pergantian raja yang diperdebatkan
pada tahun 1450-an dan pemberontakan besar oleh seorang bangsawan pada 1468 M.
Kerajaan Majapahit berakhir pada tahun 1400 Saka atau 1478 M. Hal ini tampak
pada candrasengkala (penanda tahun) yang berbunyi “sirna ilang kertaning
bumi” yang berarti “sirna hilanglah kemakmuran bumi”. Pada tahun
tersebut digambarkan gugurnya Bhre Kertabumi, raja ke-11 Majapahit, oleh
Girindrawardhana. Kemunduran Kerajaan Majapahit terjadi pada akhir abad
ke-14 dan awal abad ke-15. Pengaruh Majapahit di seluruh Nusantara mulai
berkurang. Pada saat bersamaan, sebuah kerajaan Islam berdiri yaitu Kesultanan Malaka, mulai
muncul dibagian barat Nusantara. Catatan sejarah dari Tiongkok, Portugis, dan
Italia menjelaskan bahwa telah terjadi perpindahan kekuasaan Majapahit dari
tangan penguasa Hindu ke tangan Adipati Unus, penguasa dan Kesultanan Demak,
antara tahun 1518 dan 1521 M.
Wafatnya Gajah Mada
Wafatnya Patih Gajah Mada – Dalam
Pararaton dikisahkan setelah peristiwa Bubat, Patih Gajah Mada Mukti Palapa
yaitu kepergian Gajah Mada dari kepatihan dan melaksanakan pengembaraan untuk
menghindari kemarahan Prabu Hayam Wuruk dan keluarga kerajaan lainnya. Namun
pengembaraan tersebut tidak berlangsung lama , pada tahun saka 1281 atau tahun
masehi 1359 patih Gajah Mada ikut serta dalam kunjungan Prabu Hayam Wuruk ke
daerah Lumajang. Peristiwa tersebut tercatat dalam kitab NegaraKertagama pupuh
18/2. Pada Tahun saka 1284 Prabu Hayam Wuruk mengadakan upacara Srada yaitu
penghormatan untuk Gayatri, Gajah Mada sebagai patih Amangku bumi tampil kemuka
mempersebahkan arca putri cantik yang sedang bersedih berlindung dibawah
gubahan Nagapuspa yang melilit Rajasa. Selanjutnya dalam pararaton dikisahkan
perkawinan Prabu Hayam Wuruk dengan Paduka Sori setelah peristiwa Bubat
dimaksudkan untuk menghibur Prabu Hayam Wuruk yang menderita kepedihan akibat
kegagalan perkawinannnya dengan Dyah Pitaloka dari kerajaan Pasudan. Setelah
perkawinan tersebut keadaan menjadi reda, kemarahan Prabu hayam Wuruk dengan
Patih Gajah Mada menjadi berkurang dan kelanjutan pemerintahan menjadi
prioritas yang lebih diutamakan. Dalam masa jabatan ke dua Gajah Mada sebagai
patih Amangku Bumi tidak terdapat sejarah yang berkaitan dengan gagasan
Nusantara. Mungkin sekali setelah peristiwa Bubat Gajah Mada sudah merasa
letih, tua dan Kecewa.
Gadjah Mada
Gajah Mada sudah merasa puas karena gagasan
Nusantaranya telah dapat dilaksanakan lebih luas dari pada sumpah Palapa yang
pernah diucapkan. Suatu kenyataan bahwa Gajah Mada tidak bergerak seaktif
ketika masa jabatan patih Amangku Bumi yang pertama. Dalam masa jabatan ke dua
sebagai patih Amangku Bumi lebih banyak dilaksanakan kunjungan ke daerah daerah
oleh Prabu Hayam Wuruk, Dalam Nagarakretagama pupuh 17 kunjungan tersebut
diantaranya :
·
Pajang tahun saka 1275
·
Lasem tahun saka 1276
·
Pajang tahun saka 1279
·
Lumajang tahun saka 1281
Dalam perjalanan yang terakhir tersebut Gajah
Mada tidak ikut serta, Demikianlah Gajah Mada dipanggil kembali menjadi patih
Amangku Bumi, semua orang dikerahkan untuk mencari ke pedusunan, hal tersebut
membuktikan betapa besar jasa patih Gajah Mada terhadap perkembangan wilayah
Kerajaan majapahit. Demikianlah tafsiran tentang kemoksaan tentang patih Gajah
Mada dan amukti Palapa setelah peristiwa bubat seperti terdapat dalam kidung
Suandayana dan Pararaton. Dalam Nagarakretagama diceritakan hal yang sedikit
berbeda.
Dikatakan bahwa Hayam Wuruk sangat menghargai
Gajah Mada sebagai Mahamantri Agung yang wira, bijaksana, serta setia berbakti
kepada negara. Sang raja menganugerahkan dukuh “Madakaripura” yang
berpemandangan indah di Tongas Probolinggo, kepada Gajah Mada. Terdapat
pendapat yang menyatakan bahwa pada 1359, Gajah Mada diangkat kembali sebagai
patih; hanya saja ia memerintah dari Madakaripura. Disebutkan dalam
Negarakretagama bahwa sekembalinya Hayam Wuruk dari upacara keagamaan di
Simping, ia menjumpai bahwa Gajah Mada telah gering (sakit). Gajah Mada
disebutkan meninggal dunia pada tahun 1286 Saka atau 1364 Masehi. Prabu Hayam
Wuruk sangat terharu dan sedih dengan kepergian Gajah Mada, selain karena jasa
yang sangat besar bagi perkembangan Majapahit, Gajah Mada juga dicintai rakyat
karena dapat berbaur dengan semua kalangan.
Gajah Mada berprinsip bahwa hidup hanya sekali
saja sehingga dalam perbuatannya sehari hari lebih banyak diisi dengan kegiatan
beramal. Meninggalnya Gajah Mada menurut catatan Prapanca yang dituangkan dalam
Negarakertagama dalam pupuh LXXI/I. Kabar dari Pararaton menyebut, tahun
meningalnya Gajah Mada adalah 1290. Dalam hal ini, berita dari Negarakertagama
lebih bisa dipercaya karena ditulis oleh Prapanca yang hidup sezaman dengan
Gajah Mada). “Dari dialog imaginer paranormal didapat gambaran sosok Gajah Mada
. Pada kesempatan tersebut, Gajah Mada menggambarkan sosok dirinya dalam
untaian kata-kata bersyair.
“Aku masih bocah ketika pranyatan kamardikan
(Pranyatan kamardikan, Jawa, pernyataan kemerdekaan atau proklamasi. Hari itu
berbarengan dengan hari ketika Raden Wijaya dinobatkan menjadi raja pertama
Majapahit) Majapahit itu dikumandangkan. Aku masih ingat karena saat itu
tiba-tiba banyak orang berbicara tentang Wilwatikta yang diharapkan menjadi
sebuah negara yang besar.
Aku, siapakah aku? Orang menyebutku Gajah Mada.
Sampai sejauh ini, tidak seorang pun tahu siapa aku. Dari mana asalku? Ada
orang yang mengira aku bernama Gajah dari desa Mada. Ada pula yang mengira aku
berasal dari Bali. Dari mana sebenarnya asalku? Aku telah mengambil keputusan
untuk melipatnya dalam hati, termasuk siapa orang tuaku, aku tak berminat untuk
bercerita. Aku dan latar belakangku sama sekali tidak penting sebagaimana
berharap, kelak, berbarengan dengan akhir hidupku, tak perlu ada pihak yang
menyesalkan mengapa aku tidak memiliki keturunan dan dimana pula aku dikubur.
Namaku mulai dikenal orang ketika aku mengabdikan diri menjadi prajurit dengan
tugas dan tanggung jawab mengamankan lingkungan istana serta memberikan
pengawalan kepada segenap kerabat raja.
Aku sungguh beruntung karena berada di tempat
yang tepat dan di waktu yang tepat ketika ontran-ontran (Ontran-ontran, Jawa,
geger, kekacauan) Ra Kuti terjadi. Karena keberhasilanku menyelamatkan raja dan
mengembalikannya pada kekuasaan yang dirampok para Dharmaputra Winehsuka, aku
diangkat menjadi Patih Kahuripan mendampingu Tuan Putri Breh Kahuripan atau Sri
Gitarja. Selanjutnya, aku ditunjuk menjadi patih di Daha mendampingi Tuan Putri
Breh Daha atau Dyah Wiyat.
Kedekatanku dengan Paman Arya Tadah, Patih
Amangkubumi Majapahit kembali menunjukkan kepadaku bahwa aku berada di tempat
yang tepat dan di waktu yang tepat. Aku diminta menggantikannya menjadi patih
amangkubumi karena beliau sakit-sakitan. Aku tiba-tiba tersadar bahwa ternyata
peluangku untuk menduduki jabatan yang amat tinggi itu cukup besar. Padahal, di
sekitarku ada banyak sekali calon yang layak ditunjuk menjadi mahapatih yang
baru. Ada beberapa mahamenteri di barisan katrini yang lebih layak dariku.
Namun, tidak serta merta aku menerima tawaran
itu. Aku tahu ada banyak orang yang merasa lebih pantas dan lebih berjasa untuk
ditunjuk menjadi mahapatih. Kepada Paman Arya Tadah, aku minta waktu untuk
membereskan lebih dulu pemberontakan di dua tempat sekaligus, yaitu di Sadeng
dan Keta. Jika aku bisa merampungi makar di dua tempat itu, barulah aku
bersedia. Aku menumandangkan sumpahku untuk menyatukan seluruh wilayah Nusantara
yang ditandai dicabutnya Aksobhya dan digantikan gupala Camunda.
Sejak itu, hampir seluruh waktuku aku gunakan
untuk meyatukan seluruh negara di wilayah Nusantara. Satu demi satu, negara
yang ada diimbau untuk bergabung. Mereka harus disadarkan, kesatuan dan
persatuan itu sangat penting karena di luar sana, ada negara Tartar yang pasti
akan selalu berusaha mencari celah untuk menancapkan penaruhnya sebagaimana
dulu pernah dialami Singasari. Untung, Sang Prabu Kertanegara telah bertindak
benar. Utusan dari Tartar itu dipotong telinganya dan digunduli kepalanya.
Agar hal itu tidak terulang kembali, hanya satu
jawabnya, semua negara harus bersatu di bawah naungan Majapahit. Sekuat apapun,
Tartar hanya kuat di tempatnya, tetapi tidak di sini. Jika ribuan prajurit
Tartar dikirim, Majapahit siap untuk menyediakan jumlah yang sama. Untuk
menyatukan seluruh wilayah Nusantara tak cukup dengan duduk di atas kursi di
belakang meja sambil menyalurkan perintah. Aku tak percaya ada keberhasilan
dengan cara itu. Aku amat yakin sampai mendarah daging, untuk mewujudkan mimpi
besarku, tak ada pilihan lain kecuali menyingkirkan nafsu hamukti wiwaha.
Hamukti Wiwaha adalah segala sesuatu yang
berhubungan dengan nikmat duniawi. Menikamti tingginya derajat dan pangkat,
menikmati hidup dengan tiada hari tanpa bujana handrawina (Bujana handrawina,
Jawa, pesta makan minum) merupakan salah satu pilihan yang bisa kuambil
megingat aku adalah seorang mahapatih yang menjalankan pemerintahan mewakili
raja. Akan tetapi, bukan hamukti wiwaha yang kuambil. Aku memilih lawan
katanya, yaitu Hamukti palapa. Hanya semangat lara lapa (Lara lapa, Jawa, hidup
menderita) atau palapa yang bisa mengantarku meraih apa yang aku impikan. Orang
menyebut, aku tidak akan makan buah palapa, tidak makan rempah-rempah. Apa pun
kata mereka, pilihan hamukti palapa yang kuambil adalah semata-mata
berprihatin. Tanpa, dilandasi prihatin, sebuag doa yang dipanjatkan kepada
Hyang Widdi tak terkabulkan. Tanpa prihatin, sebuah kerja besar tidak
membuahkan hasil. Dilandasi laku prihatin dan kerja besar hamukti palapa
itulah, satu demi satu untaian zamrud di Nusantara mewujud. Beberapa negara
yang diimbau untuk bersatu menyatakan diri bergabung. Namun, ada pula yang
harus diimbau beberapa kali dan terpaksa harus diancam. Jika negara-negara itu
tidak ingin bergabung, untuk mereka hanya tersisa sebuah bahasa yang paling
mudah dipahami, yaitu, digempur.
Perangku terjadi dimana-dimana, di Bali, Tumasek, Luwuk, Tanjung Pura,
Dompo hingga Riau. Wilayah Majapahit akhirnya menjadi sangat besar. Beban
seberat apapun jika
ditanggung bersama pasti menjadi ringan. Dengan
armada laut yang dibangun bersama-sama, kekuatan dari manca yang berusaha
menancapkan pengaruhnya bisa dihalau. Persatuan dan kesatuan Majapahit juga
memberikan dampak yang bagus, antara lain perang antara beberapa negara bawahan
yang selama ini bermusuhan tidak terjadi lagi. Semua masalah bisa tuntas
diselesaikan di Tatag Rambat Bale Manguntur lewat sidang pasewakan yang digelar
setahun sekali.
Lalu, masalah timbul dari Sunda Galuh. Aku
tidak senang dengan sikap Sunda Galuh yang masih membangkang, tidak mau
menggabungkan diri dengan Majapahit. Dalam sidang di pasewakan, berulang kali
aku mengutarakan pentingnya menyerbu Sunda Galuh dan memaksanya untuk bergabung
dengan Majapahit. Akan tetapi, aku mengalami kesulitan memaksakan penyerbuan
itu karena perlawanan dan ketidaksetujuan dari para Ibu Suri. Mereka beralasan,
leluhurnya juga berasal dari Sunda Galuh.Penyerbuan ke Sunda Galuh kuyakini
tidak akan mengalami kesulitan karena negara yang berada di wilayah Priangan
itu menempatkan diri sebagai negara yang mengedepankan perdamaian. Namun, untuk
bisa mengalahkan Sunda Galuh, aku harus berhadapan dengan niat Sang Prabu
mengawini anak Raja Sunda Galuh, Dyah Pitaloka Citraresmi.
Perang Bubat adalah kesalahan pengelolaan
keadaan yang aku lakukan. Sejujurnya, aku harus menyesali peristiwa itu.
Andaikata aku sabar sedikit, penyatuan itu akan terjadi pula. Keadaan menjadi
tidak terkendali karena Raja Sunda Galuh tak hanya punya nyali, tetapi juga
punya harga diri. Aku membutuhkan waktu amat lama untuk mengakui peristiwa itu
tak perlu terjadi.
Dalam semangatku membangun Majapahit, aku
melumuri jiwaku dengan hamukti palapa. Aku menghindari gebyar duniawi.
Kuhindari nafsu duniawi, termasuk aku menghindari memiliki istri. Dengan
cita-cita sedemikian besar dan membutuhkan kerja keras, aku tidak mau terganggu
oleh rengek istri dan atau tangisan anak. Tidak beristri dan tidak memiliki
anak harus aku akui sebagai pilihan tersulit. Aakan tetapi, aku layak bersyukur
bisa menjalaninya. Dengan kebebasan yang aku miliki, aku bisa berada di mana
pun dalam waktu lama tanpa harus terganggu oleh keinginan untuk pulang. Labih
dari itu, aku berharap apa yang kulakukan itu akan menyempurnakan pilihan akhir
hidupku dalam semangat hamukti moksa (Hamukti moksa, Jawa, semangat untuk meski
lenyap, telah melakukan pekerjaan luar biasa demi orang lain, seperti lilin
yang rela terbakar asal bisa menerangi tanpa meminta balasan, seperti pahlawan
yang rela menjadi martir).
Biarlah orang mengenangku hanya sebagai Gajah
Mada yang tanpa asal usul, tak diketahui siapa orang tuanya, tak diketahui di
mana kuburnya, dan tidak diketahui anak turunnya. Biarlah gajah Mada hilang
lenyap, moksa tidak diketahui jejak telapak kakinya, murca berubah bentuk
menjadi udara.
Hari ini, ketika aku sendiri di istana karena
Sang Prabu Hayam Wuruk sedang berada di Simping Blitar yang menjadi bagian
rencana perjalanan panjangnya, aku merasakan nyeri di dada kiriku. Sakitnya
tidak ketulungan. Peluh bagai diperas dari tubuhku. Aku merasa pintu gerbang
kematian telah dibuka. Aku harus melepaskan semua urusan duniawiku, termasuk
bagian yang paling sulit karena ada sesuatu yang menyatu di tubuhku, warisan
yang aku peroleh dari Kiai Pawagal di Ujung Galuh.
Untuk membebaskan diri darinya bukan pekerjaan
gampang. Aku tidak punya pilihan lain kecuali memutar udara itu dengan kencang,
makin kencang dan makin kencang. Aku berharap saat pusaran angin itu bubar,
hilang pula aku.
Demikian hasil penerawangan sosok Gajah Mada
oleh Paranormal. Dalam pupuh 12/4 pujian pujangga Mpu Pranpanca dalam kidungnya
sebagai berikut “ Di bagian timur laut adalah rumah Sang Gajah Mada, patih
Wilkatikta, seoarang menteri wira, bijaksana serta setia bakti kepada raja,
fasih bicara, jujur, pandai, tenang, teguh, tangkas serta cerdas, tangan kanan
raja yang melindungi hidup penggerak dunia “ Keangungan Majapahit adalah berkat
kemampuan Gajah Mada dalam menunaikan tugasnya sebgai patih Amangku
Bumi. Mengenai asal usul Gajah Mada ada pendapat yang mengatakan bahwa
Gajah Mada berasal dari Sumatera
Satu-satunya pulau di Indonesia yang ada
gajahnya adalah Sumatra. Yang pusat koservasinya ada di Way Kambas, Jambi. Dan
kalau dilihat dari catatan sejarah, ada benang merah yang dapat ditarik. Dara
Petak berasal dari Kerajaan Dharmasraya. Kerajaan ini lokasinya ada di Sumatra,
seperti kutipan dibawah ini Kerajaan Dharmasraya atau Kerajaan Melayu Jambi
adalah kerajaan yang terletak di Sumatra, berdiri sekitar abad ke-11 Masehi.
Lokasinya terletak di selatan Sawahlunto, Sumatera Barat sekarang, dan di utara
Jambi.
Setelah berhasil melaksanakan ekspedisi
Pamalayu, Mahesa Anabrang membawa Dara Jingga beserta keluarganya dan Dara
Petak kembali ke Pulau Jawa untuk menemui Kertanegara, raja yang mengutusnya.
Setelah sampai di Jawa, ia mendapatkan bahwa Sang Kertanegara telah tewas dan
Kerajaan Singasari telah musnah oleh Jayakatwang, raja Kadiri.
Oleh karena itu, Dara Petak, adik Dara Jingga
kemudian dipersembahkan kepada Raden Wijaya, yang kemudian memberikan keturunan
Raden Kalagemet atau Sri Jayanegara, raja Majapahit ke-2. Dengan kata lain,
raja Majapahit ke-2 adalah keponakan Mahesa Anabrang dan sepupu Adityawarman,
pendiri Kerajaan Pagaruyung.
Berdasarkan catatan-catatan diatas, dapat
disimpulkan, saat Mahesa Anabrang membawa Dara Jingga dan Dara Petak dari
Sumatra ke Jawa, Gajah Mada termasuk dalam rombongan tersebut yang bertugas
untuk mengawal keselamatan putri raja mereka sekaligus sebagai duta dari
Kerajaan Darmasraya. Atau malah Gajah Mada ditugaskan secara khusus untuk
menjadi pengawal pribadi Dara Petak. Yang akhirnya tinggal dan menetap di
Majapahit mengikuti tuannya yang menjadi permaisuri raja Majapahit. Dari
uraian-uraian di atas, ada yang berkesimpulan bahwa asal-usul Gajah Mada bukan
dari Jawa tetapi Sumatra?
Berikut Nama Nama Patih Majapahit menurut Kitab
Pararaton :
- Mahapatih Nambi 1294 – 13162.
- Mahapatih Dyah Halayuda (Mahapati) 1316 – 13233.
- Mahapatih Arya Tadah (Empu Krewes) 1323 – 13344.
- Mahapatih Gajah Mada 1334 – 1364
- Mahapatih Gajah Enggon 1367 – 13946.
- Mahapatih Gajah Manguri 1394 – 13987.
- Mahapatih Gajah Lembana 1398 – 14108.
- Mahapatih Tuan Tanaka 1410 – 1430